Saturday, May 9, 2009

GERAKAN PEREMPUAN, HENDAK KEMANA?

turki_women.jpgPendahuluan
Alvarez dalam bukunya Engendering Democracy in Brazil: Women’s Movement in Transition Politics (terj.,1990)[2] mendefinisikan gerakan perempuan sebagai sebuah gerakan sosial dan politik yang terdiri dari sebagian besar perempuan yang memperjuangkan keadilan dan jender. Definisi ini sejalan dengan realita bahwa, sekalipun muncul dengan berbagai corak dan bentuk, gerakan-gerakan perempuan yang ada di dunia memang memiliki kesamaan arah dan tujuan, yakni bertumpu pada usaha memperjuangkan nasib perempuan yang selama ini dianggap terbelenggu oleh dominasi tatanan sosial yang tidak berkeadilan jender.

Senyatanya, isu jender memang menjadi perspektif bagi hampir seluruh gerakan perempuan dalam berkiprah melakukan transformasi sosial di tengah-tengah masyarakat. Mereka berangkat dari asumsi feministik bahwa selama berabad-abad lamanya kaum perempuan telah mengalami penindasan dan ketidakadilan akibat adanya kultur patriarkat yang mendominasi kehidupan masyarakat. Kultur inilah yang dianggap bertanggung jawab melahirkan ‘mitos-mitos peran jender dan stereotype yang merugikan kaum perempuan’, sekaligus menjadi penyebab munculnya ketimpangan pola relasi dan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, baik pada lingkup pribadi, keluarga maupun publik. Munculnya kasus-kasus kekerasan, praktek diskriminasi dan marjinalisasi (termasuk domestikasi perempuan yang dianggap merendahkan), serta persoalan-persoalan lain yang saat ini diklaim sebagai persoalan perempuan kemudian dianggap sebagai manifestasi dari keadaan ini.

Sebagai solusinya, para aktivis gerakan perempuan meyakini, bahwa perubahan kultur yang mengarah pada liberalisasi/pembebasan perempuan merupakan pondasi untuk mencapai kemajuan dan kesetaraan jender. Karena dengan cara ini, kaum perempuan bisa keluar dari status inferior mereka dan sekaligus berkesempatan secara ekspresif mengejar ‘ketertinggalan’ dari kaum laki-laki tanpa harus khawatir dengan pembatasan-pembatasan kultur dan struktural yang dianggap menghambat kehidupan mereka. Karena itu, isu perubahan kultur dan liberalisasi ini kemudian menjadi salah satu isu sentral bagi perjuangan mereka. Dan sebagai penguat bagi kebenaran konklusinya, mereka menjadikan ‘kemajuan’ perempuan Barat yang mengadopsi perspektif ini sebagai model, dimana standar ‘kemajuan’ tadi diukur antara lain dengan meningkatnya rasio jumlah perempuan terdidik dibanding laki-laki, meningkatnya rasio partisipasi perempuan dalam aktivitas ekonomi dan politik formal dibanding laki-laki (khususnya yang terkait dengan penetapan kebijakan dan kekuasaan), dan lain-lain. Adapun sebagai legitimasi lokal, mereka nisbatkan perjuangan mereka pada gagasan dan kiprah-kiprah Kartini yang mereka klaim sebagai pelopor feminisme di Indonesia.

Diakui bahwa, secara fakta gagasan pembebasan perempuan telah memberi sisi positif bagi kalangan perempuan. Tetapi persoalannya, kita tidak dapat menutup mata, bahwa pada saat yang bersamaan, isu ini juga telah membawa berbagai dampak sampingan bagi kaum perempuan dan masyarakat secara keseluruhan akibat kian rancunya relasi dan pembagian peran di antara laki-laki dan perempuan. Di dunia Islam, ide-ide semacam ini bahkan telah mengarah pada deideologisasi Islam dengan dalih Islam sebagai sebuah ajaran juga bertanggungjawab melanggengkan ketidakadilan sistemik atas kaum perempuan. Karenanya, wajar jika muncul berbagai pertanyaan mengenai seberapa absah perspektif feministik ini –baik yang menyangkut asumsi-asumsi dasar yang digunakan, pembacaan perspektif ini terhadap akar persoalan, maupun solusi yang ditawarkan– akan menjamin kebahagiaan bagi kaum perempuan? Sehingga dengan demikian kita bisa menilai seberapa efektif dan absah langkah-langkah yang dilakukan gerakan perempuan hingga layak diadopsi dan dijadikan model bagi gerakan muslimah untuk memajukan perempuan?

Gerakan Perempuan Di muka Cermin Syari’ah

Perlu ditekankan, bahwa kritik atas perspektif feminisme yang menjadi nafas gerakan perempuan saat ini harus dilandaskan pada penelaahan objektif atas konsep dan realita penerapan praktisnya di lapangan. Dan yang paling penting, harus ada tolok ukur yang pasti (benar) untuk menstandarisasi keabsahannya hingga layak diperjuangkan dan direalisasikan dalam kehidupan ataukah tidak. Sebagai seorang Muslim, tentu sepatutnyalah jika kita hanya menjadikan aqidah dan syariat Islam sebagai asas penilaian atas setiap pemikiran, sehingga hanya dengan standar ini kita memutuskan untuk menerima atau menolaknya.

Sebagaimana diketahui, salah satu ide dasar pemikiran feminisme adalah konsep mengenai kesetaraan jender; bahwa secara jender, laki-laki dan perempuan sama. Menurut mereka, sekalipun secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda, akan tetapi perbedaan tersebut tidak boleh berimplikasi pada perbedaan jender, karena perbedaan jender hanya akan memunculkan ketidakadilan sistemik atas kaum perempuan.

Berdasarkan kerangka berpikir ini mereka kemudian menolak konsep pembagian peran sosial yang dikaitkan dengan perbedaan biologis. Yakni, tidak boleh misalnya hanya karena secara biologis perempuan punya rahim dan payudara, kemudian dipersepsikan bahwa hanya perempuan yang memiliki sifat-sifat keperempuanan (feminitas) –seperti sifat lembut, keibuan dan emosional–, sehingga kodratinya perempuan lahir untuk menjalani fungsi-fungsi keibuan dan kerumahtanggaan. Sementara di sisi lain, laki-laki terlahir dengan sifat-sifat maskulinitas, yang secara kodrati mengarahkannya untuk menjadi pemimpin atas kaum perempuan.

Bagi mereka, persepsi-persepsi seperti ini muncul lebih dikarenakan faktor budaya yang berpengaruh pada pembentukan konsep jender itu sendiri di tengah-tengah masyarakat. “Kebetulan”, saat ini budaya masyarakat –dalam pandangan mereka– sedang didominasi kultur patriarkat yang menempatkan posisi laki-laki lebih superior dibandingkan perempuan. Karena dianggap merugikan, maka mereka berobsesi untuk mengubah masyarakat yang patriarki ini menjadi masyarakat berkesetaraan, baik melalui perubahan secara kultural (seperti melalui perubahan pola pendidikan dan pengasuhan anak, perubahan ‘persepsi’ keagamaan yang dianggap bias jender, dan lain-lain) maupun secara struktural (melalui perubahan kebijakan). Mereka berharap, ketika suatu saat masyarakat bisa memandang perempuan sebagai manusia (bukan atas dasar kelamin), maka pembagian peran sosial (domestik vis a vis publik) akan cair dengan sendirinya. Artinya semua orang akan mampu berkiprah dalam bidang apapun yang diinginkannya tanpa harus khawatir dianggap menyalahi kodrat.

Jika kita cermati, secara konsep dan praktis ide kesetaraan seperti ini sangat absurd dan utopis. Ini karena mereka seolah tak bisa menerima mengapa manusia harus lahir dengan membawa kodrat maskulinitas dan feminitas, sementara pada saat yang sama mereka tak mungkin mengabaikan fakta bahwa manusia memang terdiri dari dua jenis yang berbeda. Lantas logika apa yang bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa di dunia harus ada laki-laki dan perempuan dengan ‘bentuk’ dan ‘jenis’ yang berbeda, jika bukan karena keduanya memang memiliki peran dan fungsi yang berbeda? Bukankah ketika perempuan punya rahim dan payudara –sementara laki-laki tidak– memungkinkan hanya perempuan yang bisa hamil, melahirkan dan menyusui? Bukankah fungsi kehamilan, melahirkan dan menyusui ini merupakan fungsi yang tak bisa digantikan laki-laki? Bukankah ‘aneh’ jika setelah melahirkan kaum perempuan bisa melepas fungsi dan peran keibuannya dengan alasan perempuan pada dasarnya tidak harus menjadi ibu sehingga peran ini bisa dipertukarkan dengan laki-laki?

Dari sini saja kita sebenarnya bisa melihat adanya ketidakcermatan dalam memahami dan mensikapi realitas. Kesan emosional justru dominan tatkala mensikapi ‘perbedaan’ tersebut sebagai sebuah ketidakadilan. Padahal realitasnya, tidak setiap perbedaan berarti ketidakadilan manakala perbedaan peran dan fungsi ini difahami justru akan memungkinkan direalisasikannya tuuan-tujuan luhur masyarakat secara keseluruhan, tanpa memandang apakah dia laki-laki ataukah perempuan.

Jika dilihat dari kacamata Islam, perspektif feminisme seperti ini tentu sangat bertentangan. Sebagai din yang sempurna, Islam memiliki cara pandang yang sangat khas, adil dan objektif terhadap persoalan keberadaan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan paradigma Islam berkaitan dengan tujuan penciptaan manusia sebagai hamba Allah yang harus beribadah kepadaNya dan tujuan penciptaan jenis laki-laki dan perempuan untuk melestarikan keturunan dalam kerangka pandang penghambaan tadi.

Dalam konteks inilah Islam memandang bahwa posisi laki-laki dan perempuan adalah sama/setara, sekalipun dalam prakteknya Islam kadang memberikan aturan yang sama dan kadang memberikan aturan yang berbeda diantara keduanya. Sama, ketika laki-laki dan perempuan dilihat dari sisi insaniyahnya yang secara realitas memang sama, yakni sebagai sosok manusia yang memiliki seperangkat potensi berupa akal, naluri (untuk beragama, melestarikan keturunan dan mempertahankan diri), dan kebutuhan jasmani. Berbeda, tatkala keduanya dilihat realitasnya sebagai ‘jenis’ yang berbeda dengan kekhasan masing-masing yang memang mengharuskannya diberi aturan-aturan yang berbeda pula.

Adanya perbedaan ini tentu tidak bisa dipandang sebagai sebuah ketidak adilan, karena semua ini ditetapkan oleh Allah sebagai Pencipta manusia semata-mata demi kemaslahatan, kelestarian dan kesucian hidup manusia dengan cara saling melengkapi dan bekerjasama sesuai

aturanNya, bukan demi kemaslahatan laki-laki saja atau perempuan saja. Apalagi dalam pandangan Islam kemuliaan tidak dilihat dari jenis kelamin ataupun kedudukan seseorang, melainkan diukur oleh derajat ketakwaannya, yakni ketaatan mereka terhadap seluruh aturan-aturan Allah, baik yang menyangkut keberadaan mereka sebagai manusia maupun keberadaan mereka sebagai laki-laki atau perempuan.

Oleh karenanya ide kesetaraan jender yang memaksakan penyamaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan dalam kancah kehidupan sesungguhnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap realitas yang ada, sekaligus merupakan pengingkaran terhadap ke-Maha Adilan dan ke-Maha Sempurnaan Allah SWT sebagai Pencipta dan Pengatur manusia. Sehingga tidak layak para muslimah dan kaum muslimin meyakini kebohongan ide ini, apalagi mengembannya.

Gerakan Perempuan (Muslimah) dan Potret Buram Umat Islam Kini

Ada satu kenyataan yang seharusnya tak perlu diperdebatkan, bahwa persoalan-persoalan yang selama ini diklaim sebagai ‘persoalan perempuan’ seperti halnya kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan, kebodohan, submission, mal nutrisi, dan seribu satu persoalan lain senyatanya tidak hanya menjadi ‘milik’ kaum perempuan. Bahkan kalau kita mau jujur mengakui, justru inilah sesungguhnya potret keseluruhan wajah kita –umat Islam—pada hari ini!!!

Tentu saja, kesadaran akan kenyataan seperti ini semestinya tidak hanya dimiliki oleh kaum perempuan, tetapi juga oleh umat Islam secara keseluruhan. Yakni bahwa saat ini, umat memang sedang sakit! Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya perubahan (untuk meraih kemajuan dan kebahagiaan) juga tidak hanya menjadi milik kaum perempuan saja atau laki-laki saja, tetapi menjadi milik semua komponen umat. Sebab jika tidak, maka yang akan terjadi adalah situasi blunder dan jalan ditempat. Masing-masing berkutat menyelesaikan masalahnya sendiri-sendiri, tanpa mau melihat bahwa sesungguhnya ada persoalan besar yang menjadi akar persoalan mereka secara keseluruhan.

Kesalahan kita selama ini, termasuk yang terjadi pada gerakan perempuan adalah selalu berpikir dan memandang masalah dengan paradigma kacamata kuda –yang ironisnya kacamata itu kita pinjam dari PERADABAN Barat (bukan sekedar karena ‘dari Barat’)–; parsial, dikotomik (bahkan cenderung individualis) serta kurang mendasar (tidak ideologis). Ketika melihat apa yang mereka sebut dengan ’persoalan perempuan’ misalnya, mereka selalu melihat dari sudut pandang yang sama: sudut pandang feministik, sudut pandang keperempuanan! bahwa ada masalah disparitas gender disana, bahwa ada dominasi budaya patriarki disana, bahwa hanya perempuan yang harus mengatasi persoalan perempuan, dan sebagainya. Padahal yang sesungguhnya terjadi –sekali lagi—adalah, ini persoalan umat yang harus segera diselesaikan secara bersama-sama.

Dengan demikian, persoalannya sekarang bukan bagaimana agar gerakan perempuan berusaha memberdayakan perempuan, dengan sekedar misalnya mendorong mereka berperan aktif seluas-luasnya di ranah publik, termasuk di dunia politik sehingga terbangun bargaining yang sama kuat antara kaum perempuan dan laki-laki. Bukan pula sekedar berpikir bagaimana mendekonstruksi bangunan budaya (dalam hal ini yang dimaksud adalah agama Islam) yang dianggap terlalu memihak laki-laki hingga membuat kaum perempuan tersubordinasi. Karena ternyata persoalan ketertindasan (perempuan), diskriminasi (perempuan), kemiskinan (perempuan) dan sebagainya bukan sekedar persoalan perempuan versus laki-laki. Persoalan-persoalan tadi ternyata hanyalah merupakan bagian kecil saja dari sedemikian banyak problematika yang dihadapi umat secara keseluruhan yang jika ditelusuri ternyata bersifat sistemis dan berpangkal pada akar yang sama, yakni rusaknya tatanan kehidupan yang diterapkan saat ini.

Tatanan hidup yang dimaksud tak lain adalah tatanan hidup sekuleristik yang tegak di atas aqidah sekulerisme dan kini sedang mengungkung kehidupan kaum muslimin dimanapun. Aqidah ini menafikan peran Sang Khaliq dalam pengaturan kehidupan (fashlu ad-diin ‘an al-hayaah) dan pada saat yang sama justru memberikan hak prerogratif pengaturan kehidupan tersebut kepada manusia, sehingga manusia bertindak sebagai rabbul ‘aalamiin. Dari aqidah rusak ini, wajar jika kemudian lahir sistem hidup yang rusak pula; sistem ekonomi kapitalistik, tata sosial individualistik, sistem politik opportunistik, sistem pendidikan materialistik, tatanan budaya yang hedonistik, serta aturan-aturan cabang lainnya yang tak kalah rusaknya dan kini terus memunculkan krisis multidimensi berkepanjangan.

Secara fakta, kerusakan ini adalah hal yang niscaya. Bagaimana bisa, manusia yang serba lemah dan terbatas mampu membuat aturan kehidupan yang sempurna tanpa cacat, yang mampu menjamin keadilan dan kebahagiaan bagi semua orang, sementara tentang hakekat penciptaan dirinyapun mereka tidak tahu? Sedangkan secara aqidah, Allah SWT telah mengingatkan kita, bahwa sepanjang manusia mengingkari hak Rubbubiyah Allah, maka manusia akan terperosok pada kehidupan yang serba sempit lagi hina.

Firman Allah Ta’ala :

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan (syari’at)Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” . (TQS. Thaha[20]:124)

Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti nyata. Dan bagi orang-orang yang kafir ada siksa yang menghinakan “. (TQS. Al-Mujadilah[58] : 5)

Inilah yang dimaksudkan dengan berpikir mendasar; berpikir bahwa persoalan kita yang sedemikian banyak, ternyata berakar pada satu soal saja, yakni persoalan ideologis; Ketiadaan sistem Islam. Selama persoalan ini tidak terpecahkan, maka selama itu pula kita akan larut dalam krisis tak berkesudahan.

Dalam kerangka perjuangan mengembalikan sistem kehidupan Islam inilah seharusnya gerakan perempuan (muslimah) bangkit dan bergerak mengambil peran. Yakni dengan cara bersinergi dengan gerakan umat secara keseluruhan untuk melakukan perubahan yang bersifat mendasar. Gerakan perempuan (muslimah) tidak boleh lagi terus berkutat pada persoalan-persoalan cabang (yang kemudian sering diklaim sebagai ‘persoalan perempuan’), karena selain hanya akan melalaikan umat dalam persoalan-persoalan yang parsial, lebih dari itu justru akan kian mengukuhkan dominasi sistem kufur dalam kehidupan kaum muslimin.

Gerakan perempuan (Muslimah) dan Tantangan Ke-Depan

Memang tidak mudah membangun kembali kepercayaan umat pada keabsahan ideologi Islam sebagai solusi tuntas atas persoalan kekinian, termasuk persoalan yang kini diklaim sebagai persoalan perempuan. Apalagi hingga saat ini sekularisme masih menjadi mainstream berpikir mayoritas umat yang memang lahir dan terdidik dengan didikan sekuler. Sehingga tak heran jika, pada sebagian kalangan justru muncul sikap phobi dan traumatis terhadap isu penegakan syariat Islam. Atau muncul pula pandangan sinis yang menuding bahwa upaya mengembalikan Islam dalam realitas kekinian hanyalah manifestasi dari bentuk romantisme sejarah yang menunjukkan impotensi dan sikap apologi umat dalam menghadapi dominasi peradaban Barat.

Jika kita tengok kembali ke belakang, apa yang terjadi hari ini sesungguhnya tak jauh berbeda dengan apa yang dialami kaum muslim generasi awal. Mereka –para aktivis gerakan Islam yang terdiri dari kalangan shahabat dan shahabiyat ra– dengan idealisme yang diembannya menjadi kelompok yang terasing di tengah-tengah masyarakat yang rusak. Akan tetapi dengan keyakinan yang kokoh akan kebenaran aqidah Islam, dan keyakinan yang utuh akan kesempurnaan syari’at Islam yang bersumber dari Dzat Yang Maha Pencipta, Maha Sempurna, Maha Adil dan Maha Mengetahui, mereka terus bergerak membongkar pemikiran yang rusak, membangun kesadaran yang jernih, meski untuk itu mereka harus mengambil resiko berhadapan dengan ‘kekufuran’, hingga akhirnya mereka mampu melenyapkan kekufuran itu dan menggantinya dengan cahaya Islam. Sejarah mencatat nama-nama besar semisal Sayyidah Khadijah binti Khuwailid ra, Sitti Fathimah Az-Zahra ra., Asma binti Abu Bakar ra., Sumayyah ra., Ummu Habibah binti Abu Sufyan ra., Lubabah binti al-Harits al-Hilaliyah ra., Fathimah binti al-Khaththab ra., Ummu Jamil binti al-Khaththab ra., Ummu Syarik ra., dan lain-lain yang semenjak bersentuhan dengan Islam keseharian mereka hanya dipersembahkan demi kemuliaan Islam. Tak satupun di antara mereka yang mau –meski sejenak– tertinggal dari satu peristiwapun, apalagi berlepas diri dari tanggungjawab memperjuangkan dienul haq, seberapapun besarnya resiko yang harus mereka hadapi. Sebagian dari mereka ada yang harus kehilangan harta, terpisah dari orang-orang yang dicinta, bahkan rela ketikapun harus kehilangan nyawa.

Oleh karenanya, dari merekalah sepatutnya hari ini kita mengambil teladan, apa yang harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan ke depan. Karena seperti yang sudah diketahui, merekalah pelopor dan peletak dasar pilar-pilar pergerakan Islam (termasuk pergerakan muslimahnya) yang dipenuhi dengan semangat ruhiyyah dan nilai-nilai Ilahiyyah. Mereka radiallahu ‘anhum, adalah generasi terbaik yang dikader dan dibina langsung oleh Rasulullah Saw, suri tauladan terbaik. Sehingga kita melihat bahwa kehidupan mereka juga senafas dengan kehidupan Rasulullah Saw, nafas perjuangan li ilaa’i kalimatillah.

Berkaca dari sejarah itulah maka, kita melihat ada beberapa hal yang harus diluruskan dari gerakan muslimah saat ini.

Pertama, gerakan perempuan (muslimah) harus menjadikan aqidah dan hukum Islam sebagai landasan gerak dan perjuangannya, bukan ide feminisme ataupun ide-ide lainnya yang asumtif dan sekularistik. Harus diyakini, bahwa hanya dengan menjadikan aqidah dan hukum Islamlah gerakan muslimah akan membawa berkah berupa kemuliaan umat yang hakiki –bukan Cuma kaum perempuan– dibawah naungan ridha Illahi.

Kedua, pergerakan perempuan (muslimah) harus memiliki visi dan misi yang sama dengan pergerakan kolektif (jama’ah) Islam, yakni bertujuan menegakkan kalimah Allah, dengan cara membina dan menyebarkan pemikiran Islam yang jernih dan utuh (kaaffah) di tengah-tengah umat, terutama di kalangan muslimah lainnya; Juga melakukan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik, sehingga kesadaran akan rusaknya sistem kehidupan yang mengungkung mereka saat ini dan keharusan kembali kepada sistem Islam akan tersebar menyeluruh di setiap komponen umat, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian yang menjadi titik tekan perjuangan gerakan perempuan –sebagaimana pergerakan umat secara umum— ada pada tataran strategis, bukan hanya pada tataran bagaimana memperjuangkan agar perempuan berada pada posisi puncak pengambil kebijakan dengan dalih kesetaraan –karena Islam telah memberi kedudukan yang setara di antara keduanya (QS. 49:13)–, melainkan berupaya agar perpektif Islamlah yang menjadi landasan berpikir bagi para pengambil kebijakan dan pemegang kekuasaan, sehingga dipastikan hanya perspektif inilah yang akan mewarnai setiap interaksi masyarakatnya.

Ketiga, gerakan perempuan (muslimah) harus menjadi bagian yang bersinergi dengan pergerakan kolektif Islam. Karena sebagaimana diketahui, para aktivis da’wah dimasa Rasulullah Saw, baik laki-laki maupun perempuan, dibina dan bergerak dengan mengikuti tanzhim tertentu yang langsung berada di bawah komando Rasulullah Saw sebagai pemimpin gerakan. Dengan demikian, pergerakan muslimah tidak harus menjadi pergerakan tersendiri yang terpisah dari pergerakan laki-laki, karena hal ini hanya akan menyulitkan koordinasi dan memperlemah kekokohan barisan perjuangan membangkitkan umat. Di samping itu, jika saat ini kita melihat bahwa gerakan-gerakan perempuan yang ada cenderung terpisah dari gerakan umat secara keseluruhan, ini karena mereka memang berangkat dari asumsi-asumsi yang bercorak individualistik, termasuk ketika memandang masalah yang menimpa perempuan sebagai masalah perempuan. Sementara itu, Islam memiliki perspektif yang khas dan universal, dimana setiap permasalahan yang muncul akan dipandang sebagai masalah manusia, tidak dibedakan sebagai masalah laki-laki saja atau perempuan saja yang harus menjadi tanggungjawab seluruh umat, dan harus dipecahkan dengan pemecahan yang sama yakni dengan Islam. Sistem Islam inilah yang akan memberi pemecahan yang holistic, tuntas dan sempurna, serta akan menjamin keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, karena sistem ini berasal dari Dzat yang menciptakan manusia baik laki-laki maupun perempuan, yang Maha adil dan Maha Sempurna. Dengan perspektif inilah, gerakan perempuan Islam menjadi bagian gerakan kolektif umat yang berjuang untuk mewujudkan sistem ini di tengah-tengah masyarakat.

Keempat, disamping harus memiliki kejelasan fikrah (konsep/pemikiran) dan thariqah (tatacara merealisasikan pemikiran), serta ikatan yang shahih di antara para aktivisnya, pergerakan perempuan (muslimah) –sebagaimana juga pergerakan jama’ah Islam yang menjadi induknya– harus memiliki wawasan politik global, dalam arti memiliki kesadaran bahwa umat Islam di dunia adalah umat yang satu, dan harus menjadi umat yang satu, baik secara pemikiran maupun secara politis. Sehingga perjuangan pergerakan muslimah tidak boleh terbatasi oleh sekat-sekat imajiner bernama negara, melainkan lebur dalam aktivitas pergerakan muslimah dan umat Islam lainnya yang berjuang di seluruh pelosok bumi mewujudkan satu kepemimpinan politis yang menerapkan Islam atas seluruh umat yakni Khilafah Islam yang akan menerapkan syaria’t Islam secara kaffah.

Kelima, gerakan perempuan (muslimah) harus bersifat politis, yakni mengarahkan perjuangannya pada upaya optimalisasi peran politik perempuan di tengah-tengah masyarakat sesuai aturan Islam. Termasuk ke dalam konteks ini adalah mengarahkan upaya pemberdayaan politik perempuan pada target optimalisasi peran dan fungsi kaum perempuan sebagai pencetak dan penyangga generasi. Dengan demikian arah pemberdayaan tidak semata fokus pada optimalisasi peran publik saja (sebagaimana perpektif feministic yang mendikotomiskan sektor publik dan domestik) melainkan mengarah pada upaya optimalisasi seluruh peran perempuan, baik di sektor publik maupun domestik sesuai tuntunan syariah. Pada tataran praktis, hal ini dilakukan dengan cara membina pemikiran dan pola sikap mereka dengan Islam, agar terbentuk muslimah berkepribadian Islam tinggi, disamping mengarahkan mereka agar memiliki kesadaran politik Islam yang juga tinggi. Yakni dengan memahamkan mereka akan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan pengaturan umat, serta mendorong mereka agar senantiasa mengikuti perkembangan peristiwa politik dalam dan luar negeri mereka, karena kesadaran politik Islam yang dimaksud adalah mereka memahami dan meyakini bahwa pemeliharaan urusan-urusan umat (politik dalam maupun luar negeri) harus diatur dengan syari’at Islam. Dengan cara inilah kaum muslimah dipastikan akan mampu mendidik generasi pemimpin yang berkepribadian Islam mumpuni, cerdas dan berkesadaran politik tinggi. Dan jika ini berhasil, maka bisa dipastikan kepemimpinan dunia akan kembali ke tangan umat Islam, sebagaimana yang dulu pernah terjadi di masa-masa awal kebangkitan Islam, dimana dipastikan pada saat itu, kehidupan yang ideal dan membahagiakan akan dirasakan oleh seluruh umat, baik laki-laki maupun perempuan. Insya Allah, Wallahu a’lam bi ash-shawwab.




[1] Disampaikan pada acara Bedah Buku “Tragedi Kartini” Kampus TEDC, Cimahi, 20 April 2008.

[2] Dalam Pengantar Analisis Gender, PSW UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mc Gill-ICIHEP, 2003 hal 11.

No comments:

Post a Comment