Saturday, May 9, 2009

Mengapa saya mengenakan Kerudung ?

Oleh Yvonne Ridley (mualaf Inggris eks tahanan Taliban)

Dulu saya melihat wanita berkerudung sebagai manusia yang pendiam, makhluk yang tertindas. Namun, kini saya melihatnya sebagai sosok yang memiliki banyak keahlian, berbakat, dan berpendirian kuat dimana menjelma sebagai bentuk solidaritas persaudaraan yang bahkan terlalu agung untuk dibandingkan dengan persaudaraan feminisme Barat.

Politisi dan jurnalis senang mengangkat isu tertindasnya perempuan di dalam Islam tanpa pernah mengajak berbicara para perempuan berkerudung itu sendiri.

Mereka sama sekali tidak memiliki bayangan bagaimana wanita muslim terlindungi dan dihormati dalam Islam yang telah berlangsung selama lebih dari 1400 tahun yang lalu.

Namun dengan mengupas isu budaya seperti mempelai anak-anak, penyunatan anak perempuan, pembunuhan demi kehormatan dan perkawinan paksa, mereka pikir mereka berbicara dengan ilmu.

Dan saya juga muak dengan dicontohkannya praktik di Saudi sebagai contoh bagaimana wanita ditekan hak-haknya seperti larangan mengemudi di negara tersebut.

Hal-hal diatas sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Islam, namun itu semua menjadi sasaran empuk untuk memojokkan Islam dengan bergaya sok tahu. Padahal sangatlah naif untuk mencampuradukkan budaya dengan Islam.

Saya pernah diminta untuk menulis bagaimana Islam membolehkan suami untuk menghajar isterinya. Enak saja, tidak benar itu. Kalangan pengkritik Islam tentu akan dengan senang mengutip ayat-ayat Al Quran atau Hadith secara serampangan dan di luar konteks. Apabila seorang suami akan menaikkan tangannya terhadap isterinya, ia dilarang untuk meninggalkan bekas pukulan di tubuh isterinya. Dengan kata lain, Quran sebenarnya berkata,” Jangan kau hajar isterimu, Hai Bodoh.”

Nah mari kita lihat statistik yang menarik. Hmm, saya mulai mendengar kata-kata sumpah serapah. Menurut, informasi Kekerasan Rumah Tangga Nasional (Amerika Serikat), 4 juta wanita mengalami kekerasan oleh pasangannya selama rata-rata 12 bulan.

Tidak kurang dari 3 wanita dibunuh oleh suami atau pacarnya setiap hari… yang berarti sekitar 5500 wanita yang dihajar hingga mati sejak peristiwa 9/11.

Mungkin ada yang bilang bahwa fakta tersebut adalah suatu kenyataan yang mencengangkan yang bisa terjadi di masyarakat yang konon beradab. Namun sebelum saya berkata lebih jauh, saya perlu katakan bahwa kekerasan terhadap wanita adalah masalah global. Pria yang melakukan kekerasan pun memiliki latar belakang yang beragam dari segi agama maupun budaya. Kenyataan menunjukkan bahwa satu dari tiga wanita di dunia merupakan korban kekerasan dan pelecehan seksual semasa hidupnya. Kekerasan terhadap wanita bukan monopoli agama, status, kekayaan, warna kulit ataupun budaya tertentu.

Namun demikian, ketika Islam pertama kali muncul, wanita merupakan obyek yang diperlakukan secara tidak semestinya. Bahkan di Barat, para wanita pun masih menghadapi masalah karena para pria yang masih berpikir memiliki superioritas. Ini terlihat dari jenjang promosi dan struktur upah yang terlihat dari tipe pekerja pembersih biasa hingga pemburu karir di tingkat direksi atau manajemen.

Wanita di Barat pun masih diperlakukan sebagai komoditas dimana perbudakan seksual mengalami peningkatan, dengan dalih sebagai upaya pemasaran dimana tubuh wanita menjadi aset penjualan produk dalam dunia periklanan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ini terjadi di dalam masyarakat dimana perkosaan, pelecehan seksual dan kekerasan adalah hal yang lumrah. Di dalam masyarakat ini pula terjadi ilusi persamaan antara pria dan wanita dan tingkat pengaruh seorang wanita di dalam masyarakat tersebut diukur dari besaran payudara yang ia miliki.

Dulu saya melihat wanita berkerudung sebagai manusia yang pendiam, makhluk yang tertindas. Namun, kini saya melihatnya sebagai sosok yang memiliki banyak keahlian, berbakat, dan berpendirian kuat dimana menjelma sebagai bentuk solidaritas persaudaraan yang bahkan terlalu agung untuk dibandingkan dengan persaudaraan feminisme Barat. Pandangan saya berubah sejak pengalaman yang saya lalui ketika ditahan oleh Taliban karena menyelundup ke Afghanistan dengan mengenakan burkha di bulan September 2001.

Selama 10-hari dalam kurungan, saya membuat perjanjian dengan mereka bahwa saya akan membaca Al Quran dan mempelajari Islam kalau mereka akan membiarkan saya pergi. Aneh tapi nyata, mereka pun menerima tawaran saya dan saya pun dibebaskan. Ketika saya kembali dari sana saya pun memegang janji saya. Sebagai jurnalis yang meliput peristiwa di Timur Tengah, saya pun menyadari untuk belajar lebih banyak tentang suatu agama yang jelas-jelas juga menjadi suatu pandangan hidup bagi masyarakat di sana.

Tidak, saya bukan korban Sindrom Stockholm. Untuk menjadi korban sindrom ini, anda harus memiliki hubungan yang baik dan erat dengan mereka yang menahan anda. Ini tidak terjadi dengan saya. Selama saya dikurung, saya sumpah serapahi mereka menolak makanan yang mereka tawarkan dan melakukan mogok makan. Saya tidak tahu siapa yang lebih senang ketika saya akhirnya dibebaskan — mereka atau saya!

Awalnya, saya pikir membaca Quran tidak akan lebih dari sekedar kegiatan akademis. Namun saya benar-benar terhenyak ketika saya temukan secara gamblang bahwa wanita memiliki kesamaan spiritual, pendidikan dan harga diri. Hadiah bagi seorang wanita ketika ia melahirkan dan membesarkan anak-anak mereka benar-benar mendapatkan pengakuan yang tulus. Wanita muslim pun bangga untuk menyatakan bahwa mereka adalah ibu rumah tangga.

Di samping itu, Nabi Muhammad Saaw pun menyatakan bahwa wanita yang terpenting dalam keluarga adalah seorang Ibu, Ibu, dan Ibu. Nabi juga berkata bahwa surga terletak di bawah telapak kaki ibu. Bayangkan, berapa banyak wanita yang mampu mencapai 100 peringkat wanita paling berpengaruh hanya dengan predikat ‘Ibu Terbaik’?

Ketika seorang wanita secara Islam memilih dengan sadar untuk tetap tinggal di rumah dan membesarkan anak-anak merupakan suatu bentuk baru dari harga diri dan kehormatan di mata saya. Pilihan tersebut sama sekali tidak lebih rendah dibanding dengan para wanita muslim lainnya yang memilih untuk bekerja, berkarir dan mengembangkan profesi mereka.

Saya pun mulai mencermati hal-hal seperti hukum warisan, pajak, kepemilikan harta dan perceraian, yang semuanya mungkin bisa menjadi inspirasi bagi para pengacara Holywood. Misalnya, wanita berhak mempertahankan apa yang telah mereka raih dan miliki sedangkan para suaminya harus menyerahkan separuh dari nilai yang ia miliki.

Agak lucu bukan kedengarannya ketika para media tabloid dengan heboh meliput berita aktris bintang film yang melakukan perjanjian pra nikah? Padahal para wanita muslim sudah menjalankan perjanjian bahkan sejak hari pertama. Mereka bisa memilih untuk bekerja atau tidak, dan semua penghasilan yang ia dapati dari pekerjaannya adalah miliknya, sedangkan suaminya harus membayar semua kebutuhan, tagihan dan belanja keluarga.

Apa-apa yang mereka para feminis perjuangkan di tahun 70an, ternyata sudah dinikmati oleh para wanita muslim 1400 tahun yang lalu.

Sebagaimana saya terangkan tadi, Islam menghormati status Ibu dan Istri. Apabila anda memilih untuk tetap tinggal di rumah, maka silakan untuk tetap tinggal di rumah. Adalah suatu bentuk kehormatan yang luar biasa nilainya untuk menjadi pendidik pertama dan terutama bagi anak-anak.

Di saat yang sama, Quran juga menyatakan kalau anda ingin bekerja, maka bekerjalah. Jadilah wanita karir, kembangkan profesi dan jadilah politisi. Jadilah menjadi sosok apapun yang anda inginkan dan jadilah yang terbaik, karena apapun yang anda akan kerjakan diniati untuk menggapai ridhaNya.

Saat ini ada kecenderungan yang berlebihan untuk menfokuskan pada masalah pakaian wanita muslim terutama oleh para pria (baik muslim dan non-muslim).

Memang benar bahwa wanita muslimah wajib untuk berpakaian sopan, tetapi banyak sekali masalah lain yang wanita muslim hadapi saat ini.

Namun demikian, semua orang masih terobsesi dengan isu kerudung atau hijab. Begini, hijab ini adalah busana resmiku, dan dengan ini saya nyatakan bahwa saya adalah seorang muslim dan saya harap anda perlakukan saya dengan hormat.

Bisakah anda bayangkan bagi seseorang untuk memberitahu eksekutif Wall Street atau bankir Washington untuk mengenakan kaos t-shirt dan celana blue jeans? Dia tentu akan menyatakan bahwa busana resmi yang ia kenakan adalah yang mendefinisikan dia selama jam kerja dan secara tidak langsung ia nyatakan kepada dunia untuk mendapatkan perlakuan sebagaimana mestinya.

Anehnya, di Inggris, kita dengar ucapan Menlu Jack Straw tentang nikab (penutup wajah yang hanya memperlihatkan mata) sebagai penghalang yang tidak bisa diterima. Wahai para pria, kapan anda akan berhenti mengomentari busana wanita?

Kita juga dengar ucapan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown dan John Reid yang memberikan pernyataan yang tidak pantas tentang nikab, padahal desa asal mereka adalah perbatasan Skotlandia dimana para pria di sana mengenakan rok!

Lalu kita juga temukan para anggota dewan parlemen yang ikut-ikutan menggambarkan nikab sebagai penghalang komunikasi. Benar-benar ucapan tidak berkualitas. Lalu bagaimana mereka menjelaskan fenomena ponsel, email, radio, sms dan faks yang dalam sehari-harinya mereka tidak pernah melihat wajah seseorang.

Mayoritas para akhwat yang saya kenal yang mengenakan nikab adalah wanita kulit putih, yang masuk Islam dan tidak lagi menginginkan sorotan, rayuan laki-laki dan perilaku mereka yang tidak senonoh. Asal tahu saja, ada sepasang akhwat di London yang saya kenal yang mengenakan niqab saat demo anti Perang karena tidak tahan dengan bau rokok.

Saya khawatir Islamophobia telah menjadi bidikan kaum rasis. Tetapi secara pengecut, kaum chauvinis pria dan kaum wanita muslim sekuler kiri bergabung menyerang busana muslimah yang tidak lagi bisa ditolerir oleh para muslimah.

Saya sendiri bertahun-tahun adalah feminis dan hingga sekarangpun masih menjadi feminis muslim yang berjuang untuk kepentingan kaum wanita. Bedanya adalah, wanita feminis muslim adalah jauh lebih radikal ketimbang teman feminisnya yang sekuler. Kita semua benci kontes kecantikan dan berusaha keras untuk tidak tertawa melihat adanya Miss Afghanistan yang mengenakan bikini sebagai bukti pembebasan wanita di Afghanistan.

Saya telah kembali ke Afghanistan beberapa kali dan saya bisa katakan bahwa tidak ada wanita karir yang bangkit dari reruntuhan di sana. Wanita muslimah Afghan berharap kepada saya agar Barat tidak terlalu terobsesi dengan Bhurka yang mereka kenakan. “Jangan perjuangkan kami untuk menjadi wanita karir, tapi carikan pekerjaan buat suami kami. Tunjukkan bahwa kami bisa mengirim anak-anak ke sekolah secara aman tanpa takut diculik. Berikan kami keamanan dan makanan di meja makan,” demikian kata seorang wanita muslimah kepada saya.

Muslim feminis muda melihat kerudung dan nikab sebagai simbol politik dan persyaratan agama sekaligus. Ada yang menganggap bahwa ini adalah simbol perlawanan mereka terhadap gaya hidup Barat yang sarat dengan mabuk-mabukan, seks bebas, dan narkoba.

Superioritas dalam Islam tumbuh karena ketaqwaan, bukan kecantikan, kekayaan, kekuasaan, posisi, maupun jenis kelamin.

Sekarang katakan kepada saya mana yang lebih membebaskan. Apakah dengan melihat seberapa pendek rok yang saya kenakan dan ukuran payudara, atau dengan menilai karakter, pikiran dan kecerdasan?

Majalah-majalah memberikan pesan kepada wanita kalau mereka tidak tinggi, langsing dan cantik maka mereka tidak akan dicintai dan diinginkan. Tekanan kepada para pembaca majalah remaja untuk memiliki pacar pun sangat menjengkelkan.

Islam berkata kepada saya bahwa saya memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan adalah tugas saya untuk mencari ilmu, baik ketika saya masih lajang atau sudah menikah.

Tidak ada di dalam Islam bahwa kami sebagai wanita harus mencuci, membersihkan rumah, atau memasak demi para pria. Tapi tidak hanya laki -laki muslim yang wajib mempelajari kembali perannya di masyarakat. Coba cek kata-kata Pat Robertson di tahun 1992 tentang pandangannya terhadap wanita. Lalu katakan kepada saya mana yang lebih beradab.

Dia berkata,” Feminisme mendorong wanita untuk meninggalkan suami mereka, membunuh anak-anak, melakukan sihir, menghancurkan kapitalisme, dan menjadi lesbian.”

Ini adalah kata-kata orang Amerika yang hidup semasa Jahiliyah yang perlu dimodernisasi dan di-adab-kan. Sosok seperti inilah yang justru mengkerudungi penglihatan mereka dan kita perlu membuka kerudung kejahilan mereka sehingga bisa membiarkan masyarakat dunia untuk melihat Islam dengan mata kepala mereka sendiri sebagaimana apa adanya.

“Yvonne Ridley, Former Taliban Captive, Convert to Islam” sumber :
http://yvonneridley.org/yvonne-ridley/articles/how-i-came-to-love-the-veil-4.html

No comments:

Post a Comment