Saturday, May 9, 2009

POLITISASI AGAMA DAN SEKULARISME







Partai-partai Islam yang memperjuangkan syariah Islam atau menegakkan negara Khilafah, sering kali dituduh melakukan politisasi agama. Yaitu berpolitik atas nama agama atau membawa-bawa agama dalam dunia politik.

Tentu tuduhan politisasi agama ini yang cukup menyudutkan partai-partai Islam sebab tuduhan itu mengandung makna peyoratif (memberikan citra buruk).

Memang, jika politisasi agama diartikan penyalahgunaan agama untuk menjustifikasi kepentingan politik sesaat, jelas tidak bisa dibenarkan. Seperti, misalnya, kampanye untuk meraih massa dengan cara mendiskreditkan parpol berlambang pohon (beringin) seraya menyitir ayat (yang artinya), Janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. (Qs. Al-Baqarah [2]: 35). Ini tentu tidak benar sebab hanya merupakan pembodohan massa dan penyalahgunaan ayat tidak pada tempatnya.

Tetapi akan lain masalahnya jika yang dimaksud politisasi agama adalah berpolitik atas dasar agama dengan asumsi bahwa agama itu harus netral atau terpisah dari politik. Di sinilah kita perlu mengkaji secara kritis term
politisasi agama dalam arti tersebut, sebab istilah itu membawa virus ideologis yang perlu diwaspadai.


Menolak Term Politisasi Agama

Istilah politisasi agama (tasyiis al-diin) sebenarnya bukanlah istilah netral, melainkan istilah yang terkait dengan suatu pandangan hidup (worldview, weltanschauung) tertentu, yaitu sekularisme. Sebab dalam masyarakat sekuler Barat, pemisahan agama dari gereja (agama) adalah suatu keniscayaan. Karenanya, politisasi agama dipandang ilegal.

Robert Audi (2002) menjelaskan bahwa dari sekularisme diturunkan tiga prinsip dalam kehidupan bernegara, yaitu prinsip kebebasan (libertarian), prinsip kesetaraan (equality), dan prinsip netralitas (neutrality). Berdasarkan prinsip terakhir, suatu negara haruslah mengambil sikap netral di antara agama-agama (lihat Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, hal. 48-50). Implikasinya, jika negara mengutamakan atau mengadopsi suatu agama tertentu (di antara beragam agama) untuk mengatur kehidupan bernegara, berarti negara itu telah melanggar satu prinsip dasar sekulerisme. Inilah politisasi agama, yang dianggap penyimpangan (corruption) dalam logika sekuler, karena agama memang harus dipisahkan dari urusan politik. Maka wajarlah jika kaum sekuler akan menolak jika agama dibawa-bawa dalam berpolitik, atau orang berpolitik atas nama agama (lihat Abdul Qadir Sholeh, Agama Kekerasan, hal. 39-42).

Mengapa logika sekuler menolak campur tangan agama dalam kehidupan politik? Hal ini tak terlepas dari trauma masyarakat Barat di Abad Pertengahan (abad ke-5 s/d ke-15 M) ketika gereja dan negara berkolaborasi mendominasi segala aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari urusan keluarga, ekonomi, politik, sosial, seni, hingga teologi dan ilmu pengetahuan, semuanya harus tunduk pada ketentuan gereja. Struktur masyarakat yang seperti ini, ternyata telah menimbulkan kerugian yang luar biasa atas kemanusiaan di segala bidang, sehingga abad-abad itu dikenal dengan Masa Kegelapan (The Dark Ages) (lihat Henry S. Lucas,
Sejarah Peradaban Barat Abad Pertengahan, hal. 39-40). Akal manusia terbelenggu oleh dogma-dogma gereja buatan para gerejawan yang kaku lagi palsu. Copernicus misalnya yang mencetuskan teori heliosentris dalam bukunya De Revolutionibus pada tahun 1507, mendapat tentangan hebat dari gereja yang berpaham geosentris. Galileo Galilei yang membela Copernicus dalam bukunya The System of the World (terbit tahun 1632), diancam hukuman mati dan akhirnya mati mengenaskan di penjara.

Masa Kegelapan ini mulai didobrak pada abad ke-16 melalui sekularisasi terhadap gereja, dengan Reformasi (perbaikan terhadap penyimpangan gereja Katolik), Renaissance (kelahiran kembali dengan menghidupkan warisan Yunani-Romawi), dan Humanisme (menjadikan manusia, bukan agama, sebagai penentu segala
sesuatu). Abad-abad selanjutnya (abad ke-17 s/d ke-19) merupakan kelanjutan dan pematangan sekularisasi dengan adanya Abad Pencerahan (Aufklarung, Enlightenment). Abad-abad ini ditandai dari karya berjudul Novum Organum oleh Francis Bacon (1620) sampai ke Critique of Pure Reason oleh Immanuel Kant
(1781). Dalam periode ini, para filosof, teolog, sosiolog, psikolog, sejarawan, politikus dan lain-lain menyerukan penyingkiran (deconsecration) nilai-nilai agama dari kancah kehidupan. Mereka menyerukan semangat rasionalisasi dan menitikberatkan aspek kemanusiaan, kebebasan, dan keadilan. Upaya pemisahan
gereja dari negara ini mencapai puncaknya pada Revolusi Perancis (1789) yang bersemboyankan gantunglah raja terakhir dengan usus pendeta terakhir.

Dari tinjauan historis ini, dapat dipahami, bahwa proses sekularisasi adalah hal yang niscaya bagi Peradaban Barat yang Kristen. Tanpa sekularisasi, Barat akan tetap dalam kemunduran dan kegelapan di bawah tindasan gereja Kristen. Tepatlah jika Friedrich Gogarten (w. 1967), seorang teolog Protestan terkemuka dari Jerman, mengatakan,...[secularization] is a legitimate consequence of the Christian faith. (Sekularisasi adalah konsekuensi yang sah dari keimanan Kristen). (lihat bukunya Verhagnis und Hoffnung der Neuzeit : die
Sakularisierung als Theologisches Problem (Nasib dan Harapan Zaman Kita : Sekularisasi Sebagai Suatu Problem Teologis), Stuttgart, 1958). Sejalan dengan Gogarten, Gabriel Vahanian, seorang teolog Calvinis mengatakan,Sekular adalah keharusan seorang Kristiani.

Walhasil, paham sekularisme yang menafikan agama dalam kehidupan inilah yang mendasari penolakan politisasi agama. Karenanya, jika ada partai politik atau kelompok dakwah yang mengusung misi politik bernuansa agama, misalnya penegakan syariah Islam dalam kehidupan bernegara, atau misi mendirikan negara Khilafah, maka ini akan mudah dicap sebagai politisasi agama. Tentunya stigma yang demikian bukanlah berdasarkan perspektif Islam, melainkan berdasarkan perspektif asing, yaitu paham sekularisme yang tumbuh dalam masyarakat Barat yang Kristen.


Islam Dan Politik

Secara normatif dan historis-empiris, Islam mempunyai pandangan sangat berbeda dengan sekularisme dalam masalah politik. Politik adalah bagian integral dari keseluruhan norma Islam. Dikatakanlah, Al-Islam diin wa minhu al-dawlah. (Islam adalah agama, dan politik adalah bagian darinya). Definisi politik (as-siyasah) dalam perspektif Islam adalah pengaturan urusan-urusan masyarakat dalam dan luar negeri-- berdasarkan hukum-hukum syariah Islam. Politik ini dilaksanakan secara langsung oleh negara Islam (Khilafah) dan diawasi oleh individu dan kelompok rakyat (lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Mafahim Siyasiyah li Hizb Al-Tahrir, hal. 1). Itulah makna politik yang diistinbath dari berbagai dalil, di antaranya dari hadits Nabi SAW :

Adalah Bani Israil, yang mengatur urusan mereka adalah para nabi. Setiap kali meninggal seorang nabi, maka digantikan oleh nabi yang lain dan bahwasanya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para Khulafa` dan kemudian akan banyak sekali (jumlahnya). [Shahih Muslim, hadits no. 1842].

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari (Juz VI hal. 497) memberi syarah (penjelasan) hadits di atas, ...di dalam hadits ini ada isyarat bahwa tidak boleh tidak rakyat harus mempunyai seseorang yang mengurus berbagai urusan mereka, membawa rakyat ke jalan yang baik, dan menolong orang yang dizhalimi dari orang yang berbuat zhalim. Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim (Juz VI hal. 231) mensyarah hadits di atas dengan mengatakan, Mereka (para nabi Bani Israil) mengatur berbagai urusan Bani Israil itu, sebagaimana yang dikerjakan oleh para pemimpin (umara`) dan para gubernur/wali (wulah) terhadap rakyat. Dan politik (as-siyasah) adalah melaksanakan sesuatu dengan apa yang membuatnya menjadi baik (al-qiyaam ala al-syai` bimaa yushlihuhu).

Jelaslah, politik adalah bagian integral dari Islam, seperti halnya sholat yang jelas merupakan bagian integral dari Islam. Islam tanpa politik ibarat Islam tanpa sholat.

Maka dari itu, tidak heran jika para banyak ulama menekankan, bahwa politik dan agama adalah ibarat dua saudar kembar (taw`amaani). Atau seperti dua sisi dari sebuah mata uang. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Iqtishad fi Al-Itiqad hal. 199 berkata,...oleh karena itu, dikatakanlah agama dan kekuasaan (as-sulthan)
adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula, agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yag tidak berpondasi niscaya akan runtuh, dan segala sesuatu yang tanpa penjaga niscaya akan hilang. Ibnu Taymiyah dalam Majmu Al-Fatawa Juz 28 hal. 394 berkata, Jika kekuasaan
(as-sulthan) terpisah dari agama, atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.

Dalam terminologi Islam, sistem politik Islam dinamakan Khilafah atau Imamah. Kewajibannya secara normatif dalam Islam adalah sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi. Seluruh imam madzhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh Ala Al Madzahib Al Arbaah, jilid V, hal. 308:

Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya...

Tak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah, juga kalangan Khawarij dan Mutazilah, tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 mengatakan:

Menurut golongan Syi'ah, mayoritas Mu'tazilah dan Asy'ariyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara'.

Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa' Wan Nihal Juz 4 hal. 87 mengatakan:

Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji'ah, seluruh Syi'ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)

Walhasil, Khilafah Islam sebagai bentuk sistem pemerintahan Islam yang akan menjalankan politik Islam di dalam dan luar negeri, adalah memang suatu kewajiban syari. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu dianggap, karena bertentangan dengan nash-nash syara yang telah jelas. Lagi pula, di tengah dominasi paham sekularisme dewasa ini, penolakan politik Islam jelas bukan merujuk pada norma dan pengalaman sejarah Islam, melainkan merujuk pada norma dan sejarah
masyarakat Eropa yang Kristen. Jelas ini adalah bentuk taklid buta yang sangat menyesatkan kaum muslimin.


Kesimpulan

Politisasi agama merupakan istilah yang bermuatan ideologi demokrasi-kapitalis yang sekular. Asumsi dasarnya adalah agama harus dipisahkan dari dunia politik. Maka menurut paham sekuler, politisasi agama adalah suatu penyimpangan.

Sebaliknya, Islam dan politik adalah suatu kesatuan integral. Politik adalah bagian dari Islam sebagaimana sholat adalah bagian integral dari Islam. Islam tanpa politik adalah ibarat Islam tanpa sholat.

Perwujudan sistem politik Islam adalah sistem Khilafah yang keberadaannya adalah wajib secara syari. Menolak kewajiban Khilafah adalah pandangan syadz (ganjil) dalam khazanah pemikiran Islam dan hanya merupakan bentuk taklid buta kepada sekularisme yang merupakan ideologi kaum imperialis yang kafir

Sumber: http://www.mail-archive.com/ ppiindia@yahoogroups.com /msg08656.html

No comments:

Post a Comment