Benarkah kebijakan pemerintah selama ini tidak berpihak kepada perempuan? Sehingga perempuan seolah secara sistematis tidak memiliki peluang untuk andil memikirkan wilayah publik dan mengambil keputusan yang menentukan keberlangsungan hidupnya.
Sebagian aktivis perempuan meyakini itu. Tak heran pada Temu Nasional Aktivis Perempuan Indonesia yang digelar 28 -31 Agustus 2006 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta dan diikuti sekitar 350 aktivis dari 28 provinsi di Indonesia, berakhir dengan menghasilkan 12 Isu Kritis Gerakan Perempuan Tahun 2006 – 2011. Isu itu berkaitan dengan: kemiskinan; hukum; fundamentalisme; politik; pendidikan; teknologi; media; budaya; seksualitas; bencana, sumberdaya alam dan globalisasi.
Tapi apakah memang itu persoalannya? Bila ditelaah secara mendalam, banyak argumentasi dari gagasan-gagasan feministik seputar jender ini mengandung banyak kerancuan (ambivalensi) karena gagasan ini dibangun di atas asumsi-asumsi tidak sesuai dengan realitas.
Salah satu ide dasar pemikiran feminisme adalah konsep kesetaraan jender; bahwa secara jender, laki-laki dan perempuan sama. Sekalipun secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda, perbedaan tersebut tidak boleh berimplikasi pada perbedaan jender, karena perbedaan jender hanya akan memunculkan ketidakadilan sistemik atas kaum perempuan.
Dalam terminologi feminis, jender sendiri didefinisikan sebagai perbedaan perilaku (behavioral differences) atau sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Karena itu, jender juga sering disebut sebagai ‘jenis kelamin sosial’. Dari definisi ini, dalam persepsi feminisme, jender hanya merupakan produk budaya (nurture), bukan alami (nature), yakni sekadar ‘hasil persepsi’ suatu masyarakat atau bahkan bisa jadi hanya mitos atas apa yang disebut dengan sifat paten (kodrat) laki-laki dan sifat paten (kodrat) perempuan.
Karena merupakan produk budaya, menurut pengusungnya, jender dapat dipertukarkan dan bersifat tidak permanen, yakni dapat berubah sejalan dengan perubahan paradigma berpikir yang menjadi landasan budaya masyarakat tersebut. Berdasarkan kerangka berpikir ini, para pemujanya kemudian menolak konsep pembagian peran sosial yang dikaitkan dengan perbedaan biologis. Tidak boleh, misalnya, hanya karena secara biologis perempuan punya rahim dan payudara, kemudian dipersepsikan bahwa hanya perempuan yang memiliki sifat-sifat keperempuanan (feminitas) seperti sifat lembut, keibuan, dan emosional sehingga secara kodrati perempuan harus menjalani fungsi-fungsi keibuan dan kerumahtanggaan. Tidak boleh pula, laki-laki yang dianggap lahir dengan sifat-sifat maskulinitasnya, lalu diarahkan untuk menjadi pemimpin atas kaum perempuan.
Bagi mereka, persepsi-persepsi seperti ini muncul lebih disebabkan faktor budaya yang berpengaruh terhadap pembentukan konsep jender itu sendiri di tengah-tengah masyarakat. Kebetulan, kata mereka, saat ini budaya masyarakat sedang didominasi kultur patriarkal yang menempatkan posisi laki-laki lebih superior dibandingkan perempuan. Budaya seperti ini kemudian dianggap bertanggungjawab melahirkan ‘mitos-mitos peran jender yang merugikan kaum perempuan’, termasuk peran perempuan sebagai ibu yang mereka pandang ‘tidak strategis’ dan ‘tidak produktif’.
Karena dianggap merugikan, mereka berobsesi untuk mengubah masyarakat yang patriarki ini menjadi masyarakat berkesetaraan, baik melalui perubahan secara kultural (seperti melalui perubahan pola pendidikan dan pengasuhan anak, perubahan ‘persepsi’ keagamaan yang dianggap bias jender, dan lain-lain) maupun secara struktural (melalui perubahan kebijakan). Mereka berharap, ketika suatu saat masyarakat bisa memandang perempuan sebagai manusia (bukan atas dasar kelamin), maka pembagian peran sosial (domestik vis a vis publik) akan cair dengan sendirinya. Artinya, semua orang akan mampu berkiprah dalam bidang apapun yang diinginkannya tanpa harus khawatir dianggap menyalahi kodrat.
Absurd
Jika kita cermati, secara konseptual maupun praktis, ide kesetaraan seperti ini sangat absurd dan utopis. Ini karena pengusungnya seolah tak bisa menerima mengapa manusia harus lahir dengan membawa kodrat maskulinitas dan feminitasnya, sementara pada saat yang sama mereka tak mungkin mengabaikan fakta, bahwa manusia memang terdiri dari dua jenis yang berbeda. Lalu logika apa yang bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa di dunia harus ada laki-laki dan perempuan dengan ‘bentuk’ dan ‘jenis’ yang berbeda, jika bukan karena keduanya memang memiliki peran dan fungsi yang berbeda?
Dari sini saja kita sebenarnya bisa melihat adanya ketidakcermatan kaum feminis dalam memahami dan menyikapi realitas. Kesan emosional justru dominan tatkala menyikapi ‘perbedaan’ tersebut sebagai sebuah ketidakadilan. Padahal realitasnya, tidak setiap perbedaan berarti ketidakadilan. Perbedaan peran dan fungsi ini justru memungkinkan direalisasikannya tujuan-tujuan luhur masyarakat secara keseluruhan, tanpa memandang apakah dia laki-laki ataukah perempuan.
Adanya perbedaan ini tentu tidak bisa dipandang sebagai sebuah ketidakadilan, karena semua ini ditetapkan Sang Maha Pencipta semata-mata demi kemaslahatan, kelestarian, dan kesucian hidup manusia dengan cara saling melengkapi dan bekerja sama sesuai dengan aturan-Nya; bukan demi kemaslahatan laki-laki saja atau perempuan saja.
Dalam perspektif feminisme, adanya ketidaksetaraan (disparitas) jender dianggap sangat merugikan perempuan, karena ketidaksetaraan inilah yang menyebabkan munculnya berbagai ketidakadilan sistemik atas perempuan, seperti terjadinya praktik subordinasi dan marjinalisasi di berbagai bidang (politik, ekonomi, sosial, dan budaya), pelabelan negatif, maraknya kasus-kasus tindak kekerasan, dan lain-lain. Mereka melihat, bahwa selama ini kesalahan persepsi tentang jender yang dipengaruhi budaya patriarki ini telah begitu berpengaruh tidak hanya dalam membangun, tetapi juga dalam mengontrol berbagai bentuk interaksi antara laki-laki dan perempuan secara tidak seimbang, terutama menyangkut peran mereka di dalam masyarakat: laki-laki diposisikan lebih serta punya power dan bargaining yang tinggi di hadapan perempuan; sementara kaum perempuan terpuruk di posisi-posisi rendah yang tak menjanjikan, serba dilematis, serba lemah, dan bahkan ‘terpaksa’ hidup dengan tingkat ketergantungan yang tinggi pada laki-laki sehingga layak diperlakukan secara semena-mena dan layak menjadi pihak yang dikorbankan.
Munculnya cara berpikir seperti ini sesungguhnya dipengaruhi oleh prinsip individualisme yang inheren dalam pemikiran demokrasi, yang menganggap bahwa masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang merdeka, dengan laki-laki di satu sisi dan perempuan di sisi lain. Prinsip ini telah menempatkan diri, ego, jenis, dan kelompok sebagai sumber orientasi. Salah satu contohnya, ketika muncul persoalan-persoalan yang menyangkut komunitas perempuan, mereka lantas memandang persoalan tersebut secara parsial dan dikotomik, yakni sebagai persoalan internal kaum perempuan yang harus diselesaikan oleh perempuan. Akibatnya, pemecahan yang dimunculkan pun menjadi parsial dan tidak memberikan penyelesaian tuntas, karena hanya dilihat dari satu perspektif saja, yakni perspektif perempuan.
Secara faktual, klaim ini terbantah oleh kenyataan bahwa apa yang disebut-sebut oleh kalangan feminis sebagai ‘persoalan perempuan’ ternyata tidak hanya menjadi ‘milik’ kaum perempuan. Tidak sedikit kaum laki-laki yang juga mengalami subordinasi, marjinalisasi, tindak kekerasan, dan lain-lain. Bahkan di dunia ketiga persoalan-persoalan seperti kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, kebodohan, submission, kesehatan yang buruk, malnutrisi, dan sebagainya kini menjadi persoalan-persoalan krusial yang dihadapi masyarakat secara keseluruhan.
No comments:
Post a Comment