Gerakan feminisme telah menimbulkan pembangkangan wanita bukan hanya kepada suaminya tapi kepada hukum-hukum Allah SWT. Atas nama kebebasan (liberal) para wanita didorong untuk membebaskan dirinya dari syariah Islam. Alih-alih gerakan jender membuat wanita lebih baik, yang terjadi malah ekploitasi wanita semakin menjadi-jadi. Dalam Islam wanita sholihah jelas yang tunduk kepada aturan Allah SWT. Wanita shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia. ‘Abdullah ibn ‘Amr r.a. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda :
«الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرً مَتَاعِهاَ اْلمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
Dunia itu perhiasan; sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah. (HR Muslim).
Anas r.a. juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«مَنْ رَزَقَهُ اللهُ اِمْرَأَةً صَالِحَةً فَقَدْ أَعَانَهُ عَلَى شَطْرِ دِيْنِهِ فَلْيَتَقِ اللهَ فِيْ الشَّطِرِ الثَّانِي»
Siapa saja yang telah dikaruniai Allah wanita shalihah berarti Dia telah menolongnya dalam satu bagian agamanya. Oleh karena itu, hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam bagian yang kedua. (HR al-Hakim).
Karakter wanita shalihah kurang lebih sebagai berikut:
Pertama, menaati Allah dan suaminya. Allah Swt. berfirman:
]الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ
بِمَا حَفِظَ اللهُ[
Laki-laki adalah pemimpin wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagain harta mereka. Oleh karena itu, wanita yang shalihah adalah yang menaati Allah dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara mereka” (QS an-Nisa’ [4]: 3).
Sementara itu, istri Sa‘id bin al-Musayyab pernah berkata, “Tidaklah kami berbicara kepada suami kami kecuali seperti kalian berbicara kepada para pemimpin kalian, ‘Aemoga Allah memeliharamu (suamiku) dan semoga Allah memaafkahmu.” (HR Abu Nu‘aim).
Abu Hurairah juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«لَوْ كُنْتُ آمِرًا اَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْاَةَ اَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا»
Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, aku pasti akan memerintahkan kepada wanita untuk bersujud kepada suaminya. (HR at-Turmudzi).
Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim dan
Ibn Hibban. Dalam riwayat Ibn Hibban ditambahkan kalimat:
«وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِي حَقَّ زّوْجِهَا»
Demi Zat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, seorang wanita dipandang belum menunaikan hak Tuhannya sebelum ia menunaikan hak suaminya. (HR Ibn Hibban).
Abu Umamah juga menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
«مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ إِنْ أَمَرَهَا اَطَاعَتْهُ وَإِنْ نَظَرَ سَرَّتْهُ وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَتْهُ وَ إِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ فِي نَفْسِهَا وَ مَالِهِ»
Tidak ada sesuatu yang lebih memberikan manfaat kebaikan bagi seorang Mukmin setelah ketakwaannya kepada Allah daripada seorang istri shalihah; jika ia memerintahnya, ia menaatinya; jika ia memandangnya, ia menyenangkannya; jika ia menggilirnya, ia memuaskannya; dan jika ia meninggalkankannnya, ia akan memelihara dirinya dan harta suaminya. (HR Ibn Majah).
Sementara itu, Asma’ bin Kharijah al-Fazari pernah mengantarkan anak perempuannya kepada suaminya. Ia berkata:
Putriku, jadilah engkau di hadapan suamimu layaknya seorang budak sehingga ia menjadi ‘budak’-mu. Janganlah engkau terlalu merendahkan dirimu sehingga ia menguasaimu. Akan tetapi, jangan pula engkau terlalu menjauhinya sehingga engkau membebaninya. (HR al-Bayhaqi).
Ketika seorang Muslimah meninggal dunia, sementara suaminya meridhainya, ia pasti akan dimasukkan ke dalam surga. Dalam hal ini, Ummu Salamah menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«أَيُّمَا إِمْرَأَةٍ مَاتَتْ وَ زَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتْ الْجَنَّةَ»
Wanita mana saja yang meninggal, sementara suaminya meridhainya, ia pasti masuk surga. (HR at-Tirmidzi).
Kedua, berhias untuk suaminya. Sebab, Rasulullah saw. telah bersabda (yang artinya), “Jika suaminya memandangnya, ia menyenangkannya.” (HR Ibn Majah).
Rasulullah saw. juga pernah bersabda, sebagaimana dituturkan Sa‘ad, demikian:
«فَمِنَ السَّعَادَةِ الْمَرْأَةُ تَرَاهَا تُعْجِبُكَ وَتُغِيْبُهَا فَتَأْمَنُهَا عَلَى نَفْسِهَا وَ مَالِكَ»
Di antara kehagiaan itu ialah istri yang jika engkau pandang, ia membuatmu takjub, dan jika engkau meninggalkannya, ia akan memelihara dirinya dan hartamu. (HR al-Hakim).
Abu Hurairah r.a. juga pernah menuturkan bahwa Nabi saw. pernah ditanya, “Wanita manakah yang paling baik?” Beliau menjawab:
«الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ»
Yaitu wanita yang menyenangkan suaminya jika suaminya memandangnya, yang menaati suaminya memerintahnya, dan yang tidak bermaksiat kepada suaminya menyangkut dirinya dan harta suaminya. (HR al-Hakim).
Ketiga, memelihara rumah, diri, dan harta suaminya. Hukum asal seorang wanita adalah sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt (sebagai ibu dan pengatur rumah tangga). Hal ini didasarkan pada hadis dari Ibn ‘Umar. Disebutkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
«كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا»
Setiap diri kalian adalah pemimpin; masing-masing kalian akan dimintai bertanggung jawab atas yang diimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin; ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin keluarganya; ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang wanita (istri) adalah pemimpin (pengurus) rumah suaminya dan anak-anaknya; ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Abu Hurairah r.a. juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الإِْبِلَ نِسَاءِ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ»
Sebaik-baik wanita yang menunggang unta adalah wanita Quraisy; ia sangat menyayangi anaknya ketika kecil dan sangat memperhatikan suaminya ketika ada di sisinya. (HR Muslim).
Keempat, membantu suaminya dalam urusan akhirat. Rasulullah saw. bersabda:
«لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِينُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الْآخِرَةِ»
Hendaknya salah seorang di antara kalian mempunyai kalbu yang bersyukur, lisan yang senantiasa berzikir, dan istri yang beriman yang dapat membantumu dalam urusan akhirat. (HR Ibn Majah).
‘Abdurrahman ibn Abza juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah berkata (yang artinya, “Seorang wanita shalihah bagi seorang laki-laki adalah seperti mahkota yang bertahtakan emas di atas kepala seorang raja. Sebaliknya, seorang wanita yang buruk bagi seorang laki-laki adalah seperti beban yang berat di pundak seorang laki-laki tua.” (HR Ibn Abu Syaibah).
Kelima, memiliki bekal agama yang baik. Ibn Majah meriwayatkan dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ia berkata : Rasulullah saw. bersabda :
«لاَ تَزَوَّجُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ فَعَسَى حُسْنُهُنَّ أَنْ يُرْدِيَهُنَّ وَلاَ تَزَوَّجُوهُنَّ لأَِمْوَالِهِنَّ فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ تُطْغِيَهُنَّ وَلَكِنْ تَزَوَّجُوهُنَّ عَلَى الدِّينِ وَلأَمَةٌ خَرْمَاءُ سَوْدَاءُ ذَاتُ دِينٍ أَفْضَلُ»
Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya karena kecantikannya itu akan menjadikannya berlebihan; jangan pula kalian menikahi wanita karena hartanya karena hartanya itu akan membuatnya membangkang. Nikahilah wanita atas dasar agamanya. Sesungguhnya seorang hamba sahaya perempuan yang hitam legam yang memiliki kebaikan agama adalah lebih utama. (HR Ibn Majah).
Abu Adzinah ash-Shudfi menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«خَيْرُ نِسَائِكُمْ اْلوَدُوْدُ اْلوَلُوْدُ اْلمُوَاتِيَةُ اْلمُوَاسِيَةُ إِذَا اتَّقَيَنَّ اللهَ»
Sebaik-baik istri kalian adalah yang penyayang, banyak anak (subur), suka menghibur, dan membantu jika ia bertakwa kepada Allah. (HR al-Baihaqi).
Keenam, mempergauli suaminya dengan baik untuk memelihara keridhaannya. Dalam hal ini, Asma’ binti Yazid al-Asyhaliyah menuturkan bahwa ia pernah datang kepada Nabi saw. yang sedang berkumpul bersama para sahabat. Ia kemudian berkata kepada beliau:
“Demi bapakku, Engkau, dan ibuku; wahai Rasulullah, aku adalah utusan para wanita kepadamu. Sesungguhnya belum ada seorang wanita pun, baik di timur maupun di barat, yang terdengar darinya ungkapan seperti yang akan aku ungkapkan atau belum terdengar seorang pun yang mengemukakan seperti pendapatku. Sesungguhnya Allah Swt. mengutusmu kepada laki-laki dan wanita seluruhnya hingga kami beriman kepadamu dan Tuhanmu. Akan tetapi, sesungguhnya kami, para wanita, terbatasi dan terkurung oleh dinding-dinding rumah kalian (para lelaki), memenuhi syahwat kalian, dan mengandung anak-anak kalian. Sesungguhnya kalian, wahai para lelaki, mempunyai kelebihan daripada kami dengan berkumpul dan berjamaah, melakukan kunjungan kepada orang sakit, menyaksikan jenazah, menunaikan ibadah haji demi ibadah haji, dan—yang lebih mulia lagi dibandingkan dengan semua itu—jihad di jalan Allah. Sesunguhnya jika salah seorang dari kalian keluar untuk menunaikan ibadah haji, menghadiri pertemuan, atau berjaga di perbatasan, kamilah yang menjaga harta kalian; yang mencucikan pakaian kalian; dan yang mengasuh anak-anak kalian. Lalu apakah adakah kemungkinan bagi kami untuk bisa menyamai kalian dalam kebaikan, wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw. menoleh kepada para sahabat seraya berkata, “Apakah kalian mendengar perkataan wanita ini. Sungguh, adakah yang lebih baik dari apa yang diungkapkannya berkaitan dengan urusan agamanya ini?”
Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak menyangka bahwa wanita ini tertunjuki kepada perkataan tersebut.”
Rasulullah saw. lalu menoleh kepada wanita tersebut seraya bersabda, “Pergilah kepada wanita mana saja dan beritahulah mereka yang ada di belakangmu, bahwa kebaikan salah seorang di antara kalian (para wanita) dalam memperlakukan suaminya, mencari keridhaan suaminya, dan mengikuti keinginannya adalah mengalahkan semua itu.” (HR al-Baihaqi).
Mendengar sabda rasul itu, wanita itu pun pergi seraya bersuka cita. Ia kemudian menyampaikan kabar gembira itu kepada kaumnya.
Di antara kebaikan pergaulan wanita terhadap suaminya adalah ia tidak berpuasa sunnah jika suaminya berada di rumah, kecuali seizin suaminya; juga tidak mengizinkan mahram-nya berada di rumah suaminya, kecuali seizin suaminya. Abu Hurairah r.a. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ وَلاَ تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ»
Tidak halal bagi seorang wanita berpuasa (sunah), sedangkan suaminya berada di rumahnya, kesuali seizin suaminya; jangan pula ia mengundang seseorang ke rumah suaminya, kecuali seizin suaminya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Termasuk kebaikan pergaulan istri kepada suaminya adalah bahwa ia tidak mendirikan shalat sunnah pada malam hari, kecuali seizin suaminya. Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
«لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ لاَ تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيلٌ أَوْشَكَ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا»
Janganlah seorang wanita mengizinkan seseorang berada di rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya dan janganlah ia bangkit dari tempat tidurnya lalu mendirikan shalat sunnah kecuali dengan izin suaminya. (HR ath-Thabrani).
Di antara kebaikan pergaulan istri terhadap suaminya adalah keridhaannya jika suaminya memarahinya. ‘Abdullah bin ‘Abbas menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«أَلاَّ أُخْبِرُكُمْ بِِِِنِسِائِكُمْ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ اْلوَدُوْدُ اْلوَلُوْدُ اْلعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا الَّتِيْ إِذَا آذَت أَوِ أُوْذِيَتْ جَاءَتْ حَتَّى تَأْخُذَ بِيَدِ زَوْجِهَا ثُمَّ تَقُوْلُ وَاللهِ لاَ أَذُوْقُ غَمِضاً حَتَّى تَرْضَى»
Ingatlah, aku telah memberitahu kalian tentang istri-istri kalian yang akan menjadi penduduk surga, yaitu yang penyayang, banyak anak (subur), dan banyak memberikan manfaat kepada suaminya; yang jika ia menyakiti suaminya atau disakiti, ia segera datang hingga berada di pelukan suaminya, kemudian berkata, “Demi Allah, aku tidak bisa memejamkan mata hingga engkau meridhaikuku). (HR al-Baihqai).
Semua sifat di atas adalah sifat-sifat yang seharusnya menjadi sifat para wanita.
Sebaliknya, ada sifat-sifat yang justru harus dijauhi oleh para wanita, di antaranya:
Pertama, jangan menyusahkan atau menyakiti suaminya. Mu‘adz bin Jabal menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
«لاَ تُؤَذِّي اِمْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِيْ الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ اْلحُوْرِ اْلعِيْنِ لاَ تُؤَذِّيْهِ قاَتَلَكِ اللهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا»
Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia kecuali istri-istri suaminya dari para bidadari surga berkata, “Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah mencelakakanmu. Sesungguhnya bagimu akan segera datang tamu kematian yang akan memisahkanmu dengan suamimu dan mengembalikannya kepada kami.” (HR at-Tirmidzi).
Kedua, hendaknya tidak mengadukan suaminya atau tidak banyak menuntut suaminya. Sa‘id ibn al-Musayab menuturkan bahwa seorang anak perempuan pernah datang kepada Nabi saw. dan mengadukan suaminya. Nabi saw. kemudian bersabda (yang artinya), “Kembalilah engkau. Sungguh, aku tidak menyukai wanita menyeret ekornya mengadukan suaminya.” (HR Sa‘id bin al-Musayyab).
Ketiga, hendaknya tidak banyak keluar rumah. Berdiam di rumah bagi seorang wanita lebih baik daripada ia keluar dari rumah. Kesibukannya di dapur (menyiapkan makanan untuk suami keluarganya), aktivitasnya mengasuh anak, atau kegiatannya mencuci adalah lebih mulia daripada kepergiannya ke luar rumah dan berada di jalan-jalan, di kendaraan umum, atau di tempat-tempat umum yang berdesak-desakan dan bercampur dengan para lelaki.
Sifat-sifat itulah sifat yang harus dijauhi oleh para wanita. Sementara itu, sifat-sifat yang dikemukan sebelumnya adalah perhiasan bagi mereka. Oleh karena itu, hendaklah para wanita menghiasi diri mereka dengan sifat-sifat tersebut. Dengan begitu, para wanita akan kembali ke jalan wanita-wanita Mukmin terdahulu; yakni para wanita yang benar, yang menjadi para shahabiyah Rasululah saw. Mereka akan berada di sisi kaum Mukmin yang benar yang semuanya dikomentari oleh Allah dalam firman-Nya:
]لِيُدْخِلَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَيُكَفِّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَكَانَ ذَلِكَ عِنْدَ اللَّهِ فَوْزًا عَظِيمًا[
Allah pasti akan memasukkan Mukmin laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah pun menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Yang demikian itu sesunguhnya di sisi Allah merupakan keberuntungaan yang besar. (QS al-Fath [48]: 5).
No comments:
Post a Comment