Belakangan ini kita sering dikejutkan dengan berbagai fenomena yang terjadi di kalangan anak-anak. Bukan hanya remaja, tetapi anak-anak SD bahkan TK yang masih ‘hijau”. Berjatuhannya korban-korban smackdown, dua di antaranya meninggal. Kebanyakan korban adalah anak SD dan TK. Ada pula anak-anak yang melakukan perbuatan nekat, mengakhiri hidupnya di usia yang begitu muda hanya karena masalah sepele. Belum masalah tawuran pelajar yang terus marak, dan narkoba yang menghantui anak-anak, bahkan anak SD sekalipun. Terakhir kasus Irfan, anak berusia 10 tahun yang tega mencekik dan mengiris-iris anak tetangganya yang masih TK. Penyebabnya hanya karena sakit hati sering diledek, sesuatu yang biasa terjadi di kalangan anak-anak.
Banyak di antara kita yang lantas bertanya-tanya, ada apakah dengan anak-anak kita? Bila kita kaji dengan cermat, pertanyaan ini sebenarnya salah alamat. Anak-anak kita adalah anak-anak yang sama dengan kita sewaktu masih anak-anak. Sama-sama memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sama-sama selalu ingin meniru, dan sama-sama belum mampu membedakan mana realita, mana rekayasa.
Yang membedakan antara kita dan anak-anak kita sekarang adalah lingkungan yang tidak sama. Dulu di zaman kita tidak ada smackdown. Tidak ada sinetron cengeng yang mengajarkan bunuh diri sebagai solusi, tidak ada pula tayangan film sadis yang penuh dengan kekerasan. Dan terutama lagi, dulu kebanyakan kita masih didampingi oleh ibu.
Apa hubungannya dengan ibu? Ya, dulu ibu kita masih banyak punya waktu untuk mendidik kita, mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan menunjukkan mana yang salah. Ibaratnya kita masih memiliki perisai yang melindungi kita dari berbagai hal buruk yang terjadi di sekitar kita.
Sekarang, anak-anak kita tidak memiliki perisai itu. Ibu-ibu saat ini lebih banyak yang menghabiskan waktu di luar rumah mencari uang. Atau kalaupun di rumah, ibu-ibu tersibukkan dengan berbagai tayangan televisi seperti sinetron, telenovela dan infotainment. Alih-alih anak dilindungi dari tayangan yang tidak mendidik, malahan anak-anak diajak ikut nonton, menghabiskan sebagian besar waktunya di depan televisi.
Peran Ibu
Berkembangnya ide feminisme yang begitu pesat beberapa waktu terakhir ini, terasa pengaruhnya terhadap cara pandang masyarakat terhadap peran ibu. Peran ibu dianggap tidak produktif karena tidak menghasilkan materi. Bahkan beberapa pihak cenderung menganggap peran ibu mendomestikasi perempuan dan menempatkan perempuan dalam posisi inferior, tersubordinasi peran suami.
Padahal, fakta membuktikan bahwa peran ibu dalam pendidikan anak tidaklah tergantikan. Masa-masa 0 – 6 tahun bagi anak adalah masa keemasan pertumbuhan dan perkembangannya. Pada usia ini, otak anak terbentuk sampai 80 %, kecerdasan dan dasar-dasar kepribadiannya mulai terbentuk. Karena itu, masa ini membutuhkan pendampingan dari sosok yang intens mengikuti pertumbuhan dan perkembangannya, yang mampu memberikan stimulasi optimal dengan penuh kasih sayang.
Pembantu atau pengasuh bayi tentu jauh dari kriteria itu. Tempat Penitipan Anak atau kelompok bermain yang diikuti anak juga tidak dapat memberikan stimulasi optimal. Tempat ini dirancang untuk menangani banyak anak, sehingga kebutuhan individu anak akan kasih sayang tidak terpenuhi seperti bila ibu yang intens mengasuhnya. Kasih sayang adalah salah satu makanan otak, yang membuat otak berkembang optimal selain gizi dan stimulasi.
Pengasuhan dengan kasih sayang yang tulus juga dibutuhkan anak dalam perkembangan kecerdasan emosionalnya. Ketika anak merasa disayang, ia belajar untuk menghargai dirinya, menumbuhkan rasa percaya diri, kemampuan untuk berempati dan berbagi kasih sayang kepada orang lain.
Berbeda dengan anak yang kekurangan kasih sayang. Mereka cenderung mengembangkan perasaan negatif, merasa tidak diterima sehingga penghargaan terhadap dirinya sendiri rendah. Anak seperti ini akan cenderung menjadi anak tertutup, rendah diri dan menyimpan potensi gagal dalam kehidupannya.
Kasih sayang yang tulus dan berlimpah tentulah datang dari seorang ibu. Pemahaman yang utuh terhadap anak juga tentu datang dari ibu. Bila fungsi ibu terabaikan karena ibu harus keluar rumah, maka adakah fungsi ini akan tergantikan?
Mengambil Pelajaran dari Ibu Para Tokoh
Thomas Alva Edison, tentu kita semua mengenal nama ini. Dia adalah penemu besar yang memiliki ribuan hak paten. Namun tahukah anda bahwa dia hanya mengenyam dunia pendidikan formal hanya 3 bulan ?
Thomas Alva Edison dikeluarkan dari sekolahnya karena gurunya beranggapan ia terlalu bodoh untuk bersekolah. Ibu Edison tidak mempercayai hal tersebut. Dengan gigih ia didik sendiri Edison di rumah. Apa yang dilakukannya tidak sis-sia. Edison menemukan potensi terpendamnya sebagai seorang peneliti. Usia 10 tahun, ia telah memiliki laboratorium pribadi.
Lebih dari apa yang didapat Edison bila bersekolah, ibu Edison mengajarkan juga keuletan berjuang dan kemandirian. Di usia begitu muda, Edison berjualan koran untuk membiayai sendiri penelitian-penelitiannya. Bayangkan apa yang terjadi bila ibu Edison bersikap sama dengan gurunya. Mungkin listrik akan terlambat ditemukan. Dan itu berarti penemuan-penemuan yang terkait listrik juga akan terhambat.
Ibu Imam Syafi’i mewakili perjuangan ibu dari tokoh-tokoh agama. Suaminya meninggal sebelum Imam Syafi’i lahir. Ia membesarkan Syafi’i sendirian. Memotivasinya untuk belajar. Usia 7 tahun Syafi’i sudah hafal Alquran. Guru-guru ia datangkan untuk mengajar Syafi’i, biarpun untuk itu ia harus bekerja keras untuk biaya belajar anaknya..
Tidak sedikit tokoh yang sukses karena peran seorang ibu di belakangnya. Mungkin nama para ibu ini tidak pernah tercatat dalam sejarah. Namun anak-anak mereka tercatat dengan tinta emas. Dan itu cukup menjadi bukti eksistensi ibu.
Dilema Ibu
Berperan sebagai ibu ideal tentu adalah cita-cita seorang ibu. Mendampingi anak, mendidik mereka dengan baik dan mencetak mereka menjadi generasi unggul yang akan mewarisi negeri ini. Namun, ibu dihadapkan pada banyak tantangan.
Tantangan terbesar tentu faktor ekonomi. Banyak ibu yang terpaksa meninggalkan rumah untuk ikut menopang ekonomi keluarga. Gaji suami yang tidak memadai, sementara harga-harga kebutuhan yang makin melambung tinggi, membuat para ibu turun tangan ikut bekerja.
Kondisi ini membuat anak-anak tumbuh tanpa kontrol dan pendidikan yang tepat. Tidak ada yang peduli apa yang ditonton anak dan apa yang dilakukan anak bersama teman-temannya. Orangtua hanya bisa terkejut saat anak ketahuan terlibat masalah serius atau menjadi korban. Tawuran, narkoba, pergaulan bebas, atau kasus kriminal.
Tantangan kedua adalah pengetahuan ibu terhadap pendidikan anak. Berapa banyak ibu yang hanya tinggal di rumah namun tidak mampu mendidik anak dengan baik. Ia tidak mengenal potensi yang dapat dikembangkan pada anak dan bagaimana mengembangkannya.
Lebih parah adalah ibu yang bekerja dan sekaligus tidak mampu mendidik anak. Ibu-ibu semacam ini tidak memiliki target dalam mendidik anak. Anak dibiarkan seperti air mengalir terserah mau jadi apa nantinya.
Kondisi ibu semacam ini tentu tidak bisa diharapkan dapat melahirkan generasi unggul. Pemerintah seharusnya memiliki kepedulian yang besar dalam masalah ini. Bukankah generasi unggul yang dapat melepaskan bangsa ini dari krisis yang terus membelit? Apakah kita akan bertahan dengan berbagai kerusakan yang melanda bangsa ini ? Pepatah bahkan mengatakan bahwa pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang berhasil mencetak pemimpin yang lebih baik.
Selama ibu masih harus disibukkan dengan mencari nafkah, selama ibu masih tidak memahami pendidikan anak, selama itu pula generasi unggul tidak akan lahir. Bangsa kita akan terus terpuruk tidak mampu bangkit.
Tugas pemerintah adalah menjamin agar ibu bisa menjalankan peran keibuannya dengan sempurna. Bukan malah mendorong ibu untuk bekerja keluar rumah, bahkan keluar negeri dengan memberikan julukan pahlawan devisa. Itu sama artinya negara ini tengah menjual masa depannya.
Tugas negara pula untuk menjamin pendidikan para ibu. Pendidikan dengan kurikulum yang tepat. Agar para ibu tidak hanya menjadikan materi sebagai orientasi hidupnya. Namun sesungguhnya, ibu punya tanggungjawab besar di pundaknya untuk masa depan bangsa. Maka, tidak salah kalau dikatakan perempuan adalah tiang negara. Bila tiang itu roboh, maka tunggulah waktu keruntuhan negara.
No comments:
Post a Comment