Berbagai permasalahan yang menimpa kaum perempuan saat ini, diyakini akibat hegemoni budaya patriarki yang mendominasi semua lini kehidupan. Dari persoalan parfum sampai pada persoalan hukum, dari persoalan Kulit sampai dengan persoalan politik. Maka berbagai upaya mencari (baca melawan) sparing partner hegemoni budaya patriarki ini, bergerak seiring dengan euphoria kebebasan berekspresi sebagai bagian dari kelahiran ideologi kapitalis dunia. Terus menggerus tanpa ampun semua sendi-sendi kehidupan sekalipun bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Pertanyaannya adalah apakah upaya mencari sparing partner( melawan ) dominasi patriarki yang selama ini digaungkan oleh para feminis telah benar-benar relevan berdasarkan asumsi posisi kaum perempuan selama ini adalah sebagai warga masyarakat kelas dua, atau menduduki posisi sub ordinat dalam ruang publik, menjadi terdobrak oleh wacana ‘kesetaraan jender’ dalam mensejahterakan kaum perempuan yang ‘tidak dapat ditolak’ oleh siapa pun, termasuk atas nama norma agama?tidakkah justru pertanyaan yang seharusnya dimunculkan adalah mengapa muncul budaya patriarki yang dianggap menyengsarakan kehidupan kaum perempuan?, serta bagaimanakah sejatinya perempuan sebagai makhluk ciptaan tuhan?
Tulisan berikut bermaksud mengajak kaum perempuan untuk kembali merenungkan ‘suara-suara’ yang telah didengungkannya selama ini agar selubung dehumanisme dapat tersingkap dan pencarian jati diri lewat basis perempuan sebagai makhluk tuhan dapat ‘memanusiakan’ kaum perempuan dengan sempurna.
Mengutip pernyataan Marwah Daud Ibrahim dalam tulisannya perempuan dan komunikasi beberapa catatan sekitar citra perempuan dalam media, beliau menjelaskan dari buku please Almanac,” nampak jelas bahwa sejarah tak akan mampu melupakan sejarah perempuan dalam lembaran penulisannya”. Dalam buku yang mencatat sejarah penting setiap tahunnya itu terlihat deretan gambar dan nama perempuan di dalamnya:
Di Indonesia sederet nama kaum perempuan mencatumkan nama-nama yang tak lepas dari perjuangan seperti R.A Kartini dan Tjoet Nya’ Dien. Dibidang pemerintahan, ada nama Megawati Soekarno Putri, sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia, hal yang belum pernah terjadi di AS, negara pelopor demokrasi dunia, meskipun kandidat perempuannya Hillary Clinton telah menyeruak dalam bursa kepemimpinan AS. Sederetan nama-nama perempuan didalam media
Content materi tayangan-tayangan sinetron kita pun bertumpu pada tokoh sentral perempuan, lihat saja sinetron’Suci, Cahaya, Intan, Wulan, Mentari, Soleha, Ronaldowati, Suami-Suami Takut Istri’, dsb. Nama perempuan tidak lepas mengiringi kebesaran nama laki-laki, Hillary Clinton, Evita Peron, Indira Gandhi. Tampil di panggung politik seiring kebesaran nama laki-laki disampingnya.
Menurut feminis permasalahan yang menimpa kaum perempuan sekarang ini akibat masih terhegemoninya kebebasan perempuan dalam ranah publik. Keterbelakangan pendidikan membawa akibat pada sub mental bawahan. Hal ini disebabkan belum cukup akomodirnya pendidikan berbasis jender dalam kuruikulum pendidikan di negara kita. Walhasil, Feminis pun menggagas kurikulum pendidikan berbasis jender. Keprihatinan masalah kesehatan perempuan, menurut feminis diakibatkan pemasungan hak menentukan reproduksi perempuan, maka ujung-ujungnya pun digagaslah UU tentang Kespro serta amandemen UU kesehatan Nomor 23 tahun 1992. Persoalan perburuhan yang lebih di dominasi oleh kasus pelecehan seksual majikan pada buruh, bagi feminis diakibatkan karena masih mendominasinya pandangan masyarakat tentang perempuan sebatas kelompok marjinal yang boleh dilecehkan. Diusulkan pula UU perburuhan berbasis jender. Kebijakan untuk mengentas posisi kaum perempuan terus sampai pada level politik. Bagi kalangan feminis kuota suara perempuan dalam politik haruslah lebih dari 30 persen atau lebih dari separuh suara laki-laki. Utamanya dalam mengambil kebijakan yang representasi suara perempuan. Perempuan dalam militer pun tak ketinggalan suara. Di Amerika Serikat semasa pendudukannya di Irak telah mengirim 11 ribu prajurit perempuan (insani/10/05). Di Indonesia meskipun belum ada wajib militer bagi kaum perempuan, akademi militer dan kepolisian sudah lebih ramah dengan persyaratan yang lebih mudah bagi calon prajurit perempuan untuk terjun dan berkarir dalam bidang militer.
Gaung suara-suara ini tidak sebanding dengan akibat yang diterima kaum perempuan ketika menyuarakan kesetaraan dalam peranannya di publik. Dalam bidang militer salah satunya, para prajurit perempuan mengalami trauma yang lebih berkepanjangan. Kayla William, mantan anggota intelijen yang bertugas di Irak mengakui, memang tantangan yang dihadapi prajurit perempuan di Irak jauh lebih berat. “ Mereka harus kuat, bukan saja menghadapi musuh, peperangan dan kematian, tapi juga hidup diantara para prajurit laki-laki yang kasar dan kadang tak terkendali”. Mereka, menurut Kayla, kerap menjadi objek pelecehan seksual serdadu laki-laki. Masih menurut Kayla, “ jangankan terhadap musuh, pada kami prajurit perempuan saja, perlakuan sebagian mereka sungguh kasar.
Munculnya budaya patriarki yang diklaim oleh feminis sebagai akar keterkungkungan perempuan dalam menyuarakan kebebasannya, dus penderitaan yang diikut sertakan akibat dominasi ini tidak serta merta ada begitu saja, tetapi melalui proses berkepanjangan. Perseteruan kaum cendekiawan dan kaum Gereja di abad ke enam belas menimbulkan polemik berkepanjangan. Dalam perjalanannya , jalan tengah ditempuh sebagai solusi konflik ini, yaitu agama harus dipisahkan dari kehidupan dan menjadi azas bagi peri kehidupan umat manusia. Inilah pangkal sekularisme yang menjadikan dikotomi ruang agama dan ruang publik. Cikal bakal sekularisme ini membuahkan pemikiran tentang empat kebebasan yaitu kebebasan berpendapat, kebebasan bertingkah laku (berekspresi), kebebasan beragama serta kebebasan berkepemilkian modal. Kapitalisme mendorong banyak umat di dunia berlomba-lomba mencapai taraf kebahagiaan yang bersifat materi melalui banyak kepemilikan modal, maka di mulailah abad revolusi industri di Prancis dan Inggris. Hampir semua bidang dikuasai oleh para laki-laki, serta sedikit saja perempuan yang bekerja disektor industri ini. Kerasnya persaingan serta streotype perempuan sebagai makhluk yang lemah membuat posisi perempuan semakin terpinggirkan.
Perubahan pun dilakukan diberbagai belahan dunia seiring dengan mengglobalnya kapitalime itu sendiri. Konfrensi di Beijing 1995 dianggap sebagai momentum kebangkitan kaum perempuan di dunia. Sayangnya kebangkitan ini tidak berpijak pada akar masalah kemunculan dominasi budaya patriarki ini yang notabene berasal dari azas kapitalis-sekularis. Kebangkitan yang dilakukan oleh feminis justru bertumpu pada upaya equality peran laki-laki dan perempuan se-setara-setaranya. Tidak perduli jika harus bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral.
Pandangan tentang keduduan perempuan
No comments:
Post a Comment